Thursday, February 26, 2009

Tamu dari Jerman (2005)

Ketika pada musim dingin 2004 istriku jalan-jalan sendirian selama 2 bulan di Jerman, dia mengunjungi temannya Peter dan Diana yang tinggal dekat Hamburg, Jerman. Dia disana selama 10 hari. Peter dan Diana berjanji akan mengunjungi kami di Indonesia. Benar, 7 bulan kemudian mereka datang ke Indonesia.
Mereka di kebun selama 10 hari!!! Setelah beberapa hari di kebun, kami mengajak mereka jalan-jalan ke Danau Toba tetapi mereka tidak mau. Mereka bilang nanti saja. Bayangkan, mereka betah di kebun! Kata mereka kami hidup seperti di surga!
Mereka senang jalan kaki, hampir tiap hari. Mereka senang duduk di teras depan rumah dan melihat-lihat orang lewat. Mereka ingin mengenal kehidupan orang Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri, kunjungan mereka ke kebun menjadi hal yang luar biasa dan mereka menjadi perhatian dan pusat pembicaraan. Istilahnya : bule masuk kampung!
Akhirnya mau juga mereka diajak jalan-jalan tetapi sisa waktu untuk jalan-jalan menjadi sedikit. Tujuan kami adalah Danau Toba. Karena anak-anak ikut, maka situasi di dalam mobil menjadi sempit. Peter kasihan melihat kami mengendarai mobil itu. Katanya mobil seperti itu di Jerman sudah dijadikan rongsokan.
Di Pematang Siantar kami mampir di tempat orangtuaku untuk minum kopi. Orangtuaku senang juga kami membawa mereka kesana.
Setelah dari sana kami melewati Parapat ke Laguboti. Peter sangat ingin melihat makam mertuaku. Dari Laguboti ke Parapat dan langsung menyeberang ke Tuk-Tuk.
Kami menginap di Tabo Cottage. Dalam perjalanan ini semua akomodasi dan makan Peter yang membayar. Bahkan dia memberi anak-anak masing-masing 20,- Dollar.
Kami berencana menginap di Berastagi. Kami membawa mereka ke hotel yang murah, Peter menolak. Dia mau hotel yang bagus dan makan enak. Maka kami membawa mereka ke Hotel Sibayak.
Pada malam terakhir di Indonesia, Peter dan Diana menginap di rumah teman kami, kel. Simon Sihotang di Medan.Di Medan Peter mengajak kami ke toko perabot, mereka membelikan untuk anak-anak kami 3 set meja belajar. Pada saat itu kami lagi membangun rumah di Medan.
Besoknya mereka berangkat pulang melalui Singapur ke Frankfurt. Wah, kami merasa sangat sedih. Kunjungan yang luar biasa!
Aku berpikir, mempunyai pergaulan internasional itu sangat menyenangkan. Apalagi bagi anak-anak. Aku sangat berharap anak-anak nantinya bisa kuliah di Jerman. Dan dengan mempunyai teman di Jerman harapan untuk itu ada. Bukan tidak menghargai pendidikan di Indonesia. Tapi pendidikan di Indonesia sangat mahal, apalagi di Jakarta. Padahal kualitasnya masih dipertanyakan. Kalau dihitung untung ruginya, lebih baik kuliah di luar negeri.
Apalagi di saat krisis seperti ini dan dengan pendapatan yang tidak seberapa, mampukah kita membiayai kuliah anak-anak kita di Indonesia? Aku hanya mengandalkan janji Tuhan!




Di rumah, kebun Mandoge, Sumatra Utara

Di Sungai Saroha,kebun Mandoge, Sumatra Utara. Ibu Satria, pake baju kuning.

Di kebun Mandoge, Sumatra Utara

Mengikuti kebaktiann di kebun Mandoge, Sumatra Utara

Di rumah orangtuaku, Pematang Siantar, Sumatra Utara

Di depan makam keluarga besar mertua-ku di Laguboti, Sumatra Utara

Di depan makam mertua-ku di Laguboti, Sumatra Utara

Catherine, Christian, Christopher di Tomok,Pulau Samosir, Sumatra Utara

Danau Toba

Di desa Lingga, Tanah Karo, Sumatra Utara

Wednesday, February 25, 2009

Tamu dari Jerman (1998)

Pada tahun 1998, ketika kami tinggal di Pematang Siantar, kami kedatangan 1 rombongan tamu dari Jerman. Istriku mempunyai seorang teman di Jerman yang merupakan petinggi suatu bank. Dia sudah pernah datang sebelumnya ke Indonesia. Beberapa tahun kemudian dia datang lagi dan membawa 1 rombongan staff bank ke Indonesia. Mereka datang berkunjung ke rumah kami. Dan tentu saja menimbulkan kehebohan di lingkungan rumah kami. Untungnya mereka membawa hadiah untuk anak-anak sehinga anak-anak tetangga juga mendapat hadiah.
Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan sehingga aku "Yes" dan "No" saja. Dulu kalau aku ingin belajar bahasa Jerman, istriku selalu berkata : 1 kata 50 Rupiah!
Wah! Jadi aku malas belajar.
Akhirnya ketika istriku ingin aku belajar bahasa Jerman, malah aku yang ngak mau.
Sekarang aku ingin, tapi istriku tak punya waktu untuk mengajariku. Aku merasa ketinggalan. Soalnya anak-anakku sudah beberapa bulan ini kursus privat bahasa Jerman. Bisa-bisa istri dan anak-anakku berbicara bahasa Jerman dan aku tak mengerti apa-apa!
Perlukah kita mempelajari bahasa asing? Sangat perlu. Apalagi bila hidup di Jakarta ini. Seperti ketinggalan kalau tidak menguasai salah satu bahasa asing. Bagaimana menurut Anda?



Sunday, February 1, 2009

Rumah dinas kami di SPR Pasir Mandoge

Foto-foto di bawah : Tahun 2005. Anak-anak dapat paket kiriman dari Jerman.







Tahun 2004.

Tahun 2003.

Tahun 2000

Tahun 1999

SPR Pasir Mandoge 1992-1993

Pada tahun 1992, kami (aku, istriku dan Catherine), Pak Butar-Butar, Effendy Lim, dan Pak & Ibu Lubis, jalan-jalan ke Danau Toba.Kami dulu bekerja di perusahaan yang sama di PT Sari Persada Raya, Kebun Mandoge, Sumatra Utara. Pada saat itu kenderaan perusahaan yang boleh kami pakai adalah mobil Hard Top. Kami membawa seorang supir. Di Parapat kami menyewa Villa yang sederhana. Besoknya kami jalan-jalan ke Pulau Samosir.
Itu sudah 16 tahun berlalu. Kami sudah tidak mempunyai kontak lagi dengan Pak Butar-Butar. Kabar terakhir dia berkerja di Pangururan, Pulau Samosir. Dengan Pak & Bu Lubis, kami sama-sama bekerja di perusahaan yang sama (juga PT Sari Persada Raya) tetapi di Sumatra Selatan. Dengan Effendy Lim, sampai sekarang kami masih berteman baik. Dia kini bekerja di perusahaan lain.
Maka inilah foto-foto kami. Let's check it out, .......









Rekan kerja SPR 1993
Foto-foto diambil pada tahun 1993. Kehidupan di kebun bisa sangat membosankan, apalagi bila tidak ada kegiatan. Maka jalan-jalan ke sekitar perkebunan pun menjadi salah satu alternatif untuk melarikan diri dari rutinitas.
Seperti jalan-jalan ke Danau Toba pada tahun 1992, maka tahun berikutnya kami jalan-jalan ke ......sekitar perkebunan! Kedengarannya kurang keren ya? Yah,begitulah apa adanya dahulu kala ....